BRUGGE-Venice of The North
- Kategori Induk: LIFESTYLE & LEISURE
- Diperbarui: Senin, 26 Oktober 2015 08:53
- Ditayangkan: Selasa, 09 Jun 2009 21:02
- Ditulis oleh admin1
- Dilihat: 3124
- 09 Jun
Perjalanan menuju Brugge memakan waktu 50 menit ke arah barat Antwerp. Saya mulai bisa merasakan bahwa kota yang satu ini memang punya daya magnet tersendiri bagi para pelancong. Buktinya, dalam gerbong kereta yang saya tumpangi ini saja, saya berjumpa dengan berbagai turis mancanegara. Ada serombongan turis Jepang yang kebetulan duduk di belakang saya, terus beberapa keluarga yang kelihatannya dari India, beberapa bule muda Amerika, beberapa pasangan muda berwajah latin (mungkin dari Amerika Selatan) dan juga beberapa mahasiswa Indonesia ( !) yang kebetulan sedang melakukan study-tour ke Eropa.
Tiba di Stationplein Brugge, suasana internasional terasa makin kental. Saya menyaksikan banyak sekali wisatawan beserta perlengkapannya hilir mudik di sana. Berbagai bahasa yang ‘aneh-aneh’ terdengar di sana-sini.
Menurut kantor informasi wisata yang ada di stasiun, ada beberapa alternatif untuk menikmati keindahan Brugge. Ikut city-tour mengendarai minibus dengan guide berbahasa Inggris, city-tour dengan naik kereta kuda, naik bus umum yang terminalnya persis di depan stasiun menuju pusat kota yang berangkat setiap 15 menit, menyewa sepeda yang juga tersedia di samping bangunan utama stasiun, atau yang paling murah, berjalan kaki.
Akhirnya, saya pilih alternatif yang terakhir, karena disamping murah-meriah, hal ini juga berarti saya bisa memuaskan hobi untuk ber-window shopping selama perjalanan. Dengan panduan buku petunjuk wisata ala kadarnya yang saya beli dari kantor informasi turisme seharga 1.20 Euro, saya memulai perjalanan mengunjungi Brugge.
Tempat pertama yang saya kunjungi adalah Minnewater. Populer dengan sebutan ‘the lake of love’ – yang katanya adalah salah satu tempat paling romantis di Brugge. Sebenarnya, minnewater adalah sebuah taman dengan rerumputan hijau yang membentang sepanjang aliran air dan pepohonan rindang yang tinggi besar menjulang, membuat suasana teduh dan damai terutama pada siang hari yang panas. Di tempat itu pula mengalir anak sungai yang di kiri-kanannya terdapat beberapa bangunan tua bekas kastil yang saat ini sudah banyak berubah fungsi menjadi restoran, café, hotel maupun perkantoran. Saya pun setuju, tempat ini memang pas dipakai untuk rendez-vous. Suara gemericik air sungai, kicau burung bersahut-sahutan dan desiran angin sepoi-sepoi memang benar-benar membangkitkan ‘naluri’ romantisme.
Saya menyempatkan diri untuk menyantap bekal makan siang yang tadi sempat saya beli di stasiun. Sebuah ‘smosh’ – roti keras khas Prancis ukuran besar yang bentuknya mirip sebuah pentungan diisi dengan salad, potongan buah tomat segar, potongan telur rebus, ikan tuna, daging asap dan mayonnaise serta sekaleng nestea dingin rasa buah apricot.
Dari sana, saya berjalan menuju Wijngaardstraat di mana banyak terdapat toko cendera mata yang menjual kain bordir warna putih yang sering juga disebut dengan lace yang menjadi ciri khas Brugge, mulai dari ukuran kecil sampai besar dengan bermacam ornamen dan hiasan yang cantik dan menarik.
Di kejauhan, tampak The Belfry Tower yang terletak pas di pusat kota Brugge. Banyak teman saya bercerita tentang keunikan dan keindahan memandang ke segala sudut kota dari puncak menara Belfry. Maka dari itu segeralah saya menuju ke sana.
Perjalanan menuju pusat kota penuh dengan hal yang menarik, terutama ini disebabkan oleh keinginan mata saya untuk ber-window shopping bisa terpuaskan. Sepanjang jalan yang saya lalui, relatif sempit dan terbuat dari susunan bebatuan (persis seperti situasi kota Venesia – Italia). Saya sempat beberapa kali berhenti sekedar memandangi dekorasi beragam toko yang terletak di kiri-kanan jalanan sempit tersebut.
Kretifitas pemilik toko untuk menarik perhatian orang yang lewat memang patut diacungi jempol. Sebuah toko yang menjual permen coklat misalnya, menghias etalasenya dengan aneka bentuk dan warna barang dagangannya ditambah dekorasi berlatar belakang benteng ala zaman Romawi lengkap dengan serdadu-serdadu mungil berbaju zirah yang membawa pedang terhunus dan bertameng. Tidak cuma itu, tampak pula beberapa pasukan berkuda membawa bendera kebesaran Romawi berlarian di atas ‘bukit’. Saya semakin keheranan dan takjub begitu mendengar penjelasan dari si empunya toko, bahwa semua yang barusan saya lihat tadi, dibuat sendiri olehnya dengan bahan dasar…… cokelat!
Mungkin karena saking sempit dan berlikunya jalanan menuju old city center atau karena kepadatan jalanan yang dipenuhi oleh pejalan kaki, saya jarang sekali melihat adanya mobil atau kendaraan bermotor lain yang melintas. Yang malah sering saya alami adalah beberapa kali saya hampir menginjak ‘ranjau darat’ alias kotoran kuda yang tercecer di sana-sini. Beberapa kali saya sempat melihat kereta-kereta bergaya klasik-aristokrat berlalu-lalang ditarik kuda-kuda Eropa yang bertubuh tinggi besar. Pemandangan ini sempat membawa saya ‘terbang’ ke abad pertengahan apalagi kesan ini diperkuat dengan gaya arsitektur sebagian besar bangunan yang dengan sengaja dijauhkan dari sentuhan modernisasi, namun tetap terjaga keanggunannya.
Melewati sebuah jembatan, saya berhenti sejenak karena di bawah tempat saya berdiri, melintas sebuah perahu motor yang dipenuhi oleh serombongan turis. Di kiri-kanan sungai yang barusan dilewati oleh perahu motor tadi, terlihat beberapa restoran yang sengaja mendirikan balkon menjorok ke arah sungai. Saya lantas membayangkan, betapa romantisnya makan malam di salah satu balkon dari restoran tersebut dengan iringan gesekan biola musik klasik, diterangi cahaya lilin remang-remang dan kilau air sungai yang memantulkan cahaya bulan. Apalagi bila ditemani oleh kekasih tercinta… duh!
Agar tidak berlama-lama terhanyut dalam suasana yang sentimentil, maka saya segera melangkahkan kaki menuju Markt Square.
Seperti layaknya pusat kota tua di Eropa pada umumnya, Markt Square –pusat kota tua Brugge- juga berbentuk ‘persegi empat’ yang di setiap sisinya dipenuhi bangunan kuno tinggi menjulang. Orientasi Roman-Gothic style-nya tampak begitu dominan. Ini terlihat dari bentuk sisi-sisi bangunan yang tampak ‘tajam’dan tegak lurus ke atas. Seketika saya bisa menemukan menara Belfry yang dari tadi hanya tampak di kejauhan, kini sudah ada di hadapan mata.
Menara dengan ketinggian hampir 100 meter ini mulai dibangun pada abad ke-13 dan baru selesai pada abad ke-15. Karena penasaran ingin melihat kecantikan kota Brugge dari ketinggian, maka saya beranikan diri untuk mendaki puncak The Belfry Tower.
Dengan menaiki hampir 400 anak tangga sempit dan curam yang terbuat dari bebatuan, dan tentunya dibantu dengan sebotol air mineral plus istirahat beberapa kali untuk mengembalikan tarikan napas dan sesekali menyeka keringat yang mengucur deras, akhirnya saya tiba juga di puncak menara Belfry.
Lagi-lagi, rasa takjub muncul di hati saya. Di puncak menara berbentuk persegi empat itu, dengan bantuan binocular yang sengaja saya beli di Schipol Airport di Amsterdam pada waktu kedatangan, saya leluasa memandang kota Brugge. Ternyata kota Brugge sesungguhnya dikelilingi oleh banyak anak sungai dan benteng yang sengaja dibangun mengitari kota pada zaman dahulu, untuk melindungi dari serangan musuh yang datang dari luar. Sementara kanal-kanal yang pada zaman dulu dipakai sebagai sarana transportasi air di dalam benteng, semakin menguatkan kesan bahwa memang Brugge patut dijuluki Venice of The North.
Di beberapa sudut nun jauh di sana, saya juga dapat menyaksikan beberapa menara bekas benteng yang masih bisa dikenali dengan jelas fungsi keberadaannya pada masa lampau. Yaitu sebagai tempat untuk mengintai situasi di seberang kota sekaligus sebagai pintu gerbang yang harus dilalui oleh setiap pengunjung dari luar kota sebelum memasuki Brugge. Saat ini, bekas menara-menara ‘birdseye’ tersebut lebih banyak difungsikan sebagai jembatan bagi kendaraan bermotor untuk masuk ke jantung kota Brugge.
Di menara Belfry, terdapat pula puluhan genta dalam berbagai ukuran, dari yang mungil sampai yang super besar. Pada setiap hari Senin sore, biasanya diperdengarkan alunan musik baroque dengan memanfaatkan paduan suara yang ditimbulkan dari dentangan genta-genta tersebut.
Mengamati corak bangunan dan arsitektur kota Brugge memang tidak bisa dilepaskan dari sejarah kota itu sendiri. Sejak awal abad ke-2 Masehi, Brugge berada dalam pengaruh kekuasaan kekaisaran Romawi. Nama Brugge sendiri didapatkan pada awal abad ke-9 yang bermula dari kata ‘Bryggia’ yang berarti tempat untuk melakukan pendaratan. Memang, pada seputaran abad ke-11, Brugge menjadi pusat pelabuhan komersial paling penting di Eropa. Sebegitu besarnya peran Brugge sebagai pusat perdagangan sehingga untuk itu didirikanlah kantor perdagangan di tempat kediaman keluarga Van der Beurse yang merupakan cikal bakal dari pasar modal modern saat ini. Nama ‘Beurse’ akhirnya dipakai dalam bahasa Belanda untuk mengartikan kata ‘pertukaran’ atau ‘trading’. Dari sanalah, muncul kata bourse, borse, borsa, birsja yang kalau di-Indonesiakan menjadi: bursa.
Seiring berjalannya waktu, Brugge mengalami banyak pergantian pemerintahan. Mulai dari pemerintahan Flanders (saat ini merupakan sebuah propinsi di Belgia), kemudian berpindah pada kekuasaan kekaisaran Burgundy (saat ini, Burgundy adalah sebuah provinsi di Prancis yang terkenal sebagai daerah penghasil anggur) sampai kemudian Brugge, secara bergantian jatuh ke tangan kekaisaran Spanyol pada abad 15 – 17, kekaisaran Austria (abad 17), kekaisaran Prancis dan kerajaan Belanda pada sekitar abad 18. Karena pergantian pemerintahan dan juga berbagai peperangan yang terjadi itulah, perlahan-lahan kejayaan Brugge sebagai pusat perdagangan memudar. Di sisi lain, dengan adanya pengaruh budaya yang berasal dari berbagai tempat yang berbeda tersebut, membuat Brugge sekaligus ‘kaya’ dalam akulturasi keberagaman kebudayaan. Karena itulah, tidak salah apabila pada tahun 2002 Brugge dinobatkan sebagai ‘The Cultural Capital of Europe’, sebuah gelar bergengsi yang tidak bisa didapatkan dengan mudah oleh kota-kota Eropa lainnya.
Seusai berlelah-lelah mengunjungi The Belfry Tower, saya memutuskan untuk beristirahat di salah satu resto atau café yang tersebar di sekitar Markt Square. Saya memilih untuk duduk di teras luar Café de France yang saat itu relatif agak sepi. Seputaran Markt Square dipenuhi dengan payung dan tenda aneka warna lantaran semua restoran dan café di sana berlomba-lomba memanfaatkan halaman depannya untuk tempat bersantap.
Dari sekian banyak pilihan pada menu a la carté di Café de France, saya mencoba crepe’s suzettes. Dan ternyata, pilihan saya ini tidak salah karena crepe’s suzettes a la Café de France ini memang benar-benar lezat karena terbuat dari kulit pancake yang di dalamnya diisi dengan ice cream vanilla, sementara di bagian luarnya ditaburi icing sugar dan disiram dengan saos oranye beraroma jeruk. Sesaat sebelum disajikan, crepe’s suzettes tadi disiram dengan brandy dan dibakar selama beberapa saat. Aroma dan rasanya, hmmm… benar-benar nikmat !
Keinginan saya untuk mengunjungi Brugge terwujud sudah. Benar memang apa yang diceritakan oleh teman-teman saya selama ini. Brugge boleh dijadikan pilihan bagi pasangan yang hendak berbulan madu. Keliling kota naik kereta mewah dengan ditarik sepasang kuda putih, berjalan diantara lorong-lorong kota bernuansa medieval, berperahu berdua menyusuri kanal-kanal, ataupun menyantap hidangan laut di restoran tepi sungai dengan temaram cahaya lilin di atas meja, suara gemericik air serta sinar bulan terpantul dari air sungai. Dan setelah itu, bolehlah kiranya memanjakan diri di beberapa Turkish Bath dan massage parlour yang tersebar di beberapa sudut kota atau bermalam di hotel berbintang yang lagi-lagi sarat dengan arsitektur bernuansa Roman-Gothic sambil menghirup segelas Stella Artois, bir khas Belgia. Wuih, alangkah romantisnya…