BOOMING APARTEMEN KEMBALI KE KOTA
- Kategori Induk: PROPERTY & REFERENSI BISNIS
- Diperbarui: Senin, 26 Oktober 2015 08:53
- Ditayangkan: Rabu, 03 Maret 2010 23:29
- Ditulis oleh admin1
- Dilihat: 2149
- 03 Mar
untuk investasi ataupun dihuni. Namun, secara umum sebagian
besar beralasan lantaran faktor kemacetan, ongkos transportasi
serta keluarga. Jadi, tak bisa dipungkiri, sebagian besar penghasilan kelas
menengah, jadi tersedot untuk pos pengeluaran BBM.
Kemacetan yang luar biasa memberikan kerugian waktu tempuh
mereka. Hampir setiap hari, mereka tiba di kantor dalam keadaan ‘kehabisan
baterai’. Jika sudah begini jangankan bisa bercengkerama dengan keluarga.
Waktu untuk beristirahat saja menjadi sangat minim. Hal-hal seperti inilah
yang menjadi pemicu memilih hunian di kota.
Beragam Alasan
Arini, biasa dipanggil Rini, Manager Marketing Asuransi swasta yang
berdomisili di Depok dan berkantor di Jl. Jend. Sudirman adalah seorang
yang mengalaminya. Setiap hari ia selalu dipusingkan oleh urusan
berangkat ke kantor. Jika naik kereta (KRL), Arini harus bangun pukul 4.30.
“Kalau membawa mobil, harus berangkat sama paginya, pulangnya jauh
lebih malam karena terpaksa menunggu macet,” katanya.
Junita Tobing akrab dipanggil Ita, juga merasa hidup jauh dari pusat
kota makin hari makin ribet. “Macetnya luar biasa. Perjalanan dari rumah
saya menuju kantor di tengah kota menjadi panjang dan melelahkan.
Gara–gara macet saya juga sering kali kehilangan semangat yang akhirnya
mempengaruhi produktifitas kerja,” kata Ita.
Lain lagi alasan yang dipaparkan oleh artis cantik Susan Bachtiar.
Meski untuk kesehariannya masih memilih menetap di pinggiran Jakarta,
namun Susan punya alasan kuat untuk membeli apartemen di tengah kota.
Susan membutuhkan tempat beristirahat sejenak di sela-sela aktifitasnya
yang padat. Dan sangatlah repot dan tidak efisien jika ia harus pulang ke
rumah sekedar untuk mengisi waktu kosong kala beraktifitas. “Keberadaan
apartemen sangat membantu untuk meningkatkan kualitas hidup
seseorang. Faktor kemacetan luar biasa dan jarak tempuh yang terlalu lama,
akan membuat efisiensi dan kualitas hidup menurun,” papar Susan.
Fenomena Kembali Ke Kota
Panangian Simanungkalit, pengamat properti
sekaligus Direktur Pusat Studi Properti Indonesia
(PSPI) mengatakan dalam sepuluh tahun terakhir
terjadi perkembangan spektakuler hunian
di kota. “Besarnya pasokan apartemen akan
mempertajam fenomena orang kembali ke kota,”
katanya.
Menurutnya penduduk Jakar ta yang
berjumlah sepuluh juta pada siang hari dan
delapan juta malam hari, sebenarnya terlambat
memulai konsep tinggal di apartemen. “Dahulu
memang ada upaya ‘menghidupkan ‘ konsep
tinggal di rumah susun, lewat program land
resetlement. Kawasan yang kena gusur kemudian
dibangun rusun. Namun, karena pemerintah tidak
menjaga, pemilik menjual haknya ke kalangan
menengah ke atas,” jelasnya.
Namun untuk memiliki hunian di kota, pilihan
yang terpopuler adalah mencicil apartemen.
Sebab, hanya sejumlah kecil orang yang mampu
membeli rumah di kawasan kota. Namun, prediksi
“kembali ke kota” akan disusul oleh makin
banyaknya pembangunan rumah vertikal, entah
dalam bentuk apartemen ataupun rumah susun
dengan harga yang terjangkau.
“Kondisi pergerakan kembali ke kota, akan
diakomodasi oleh para pengembang yang ikut
dalam pengadaan perumahan di perkotaan. Teori
ekonomi demand dan supply akan terjadi. Namun
jika tak mampu juga membeli apartemen atau
rusun, manfaatkan saja rumah sewa”. Ia meyakini,
gejala tinggal di kota akan terus terjadi sampai 25
tahun ke depan. “Tapi, hal ini tidak berarti industri
penjualan residensial akan mati,” ujarnya.