Satu hari di Banten Lama
- Kategori Induk: PROPERTY & REFERENSI BISNIS
- Diperbarui: Senin, 26 Oktober 2015 08:53
- Ditayangkan: Rabu, 08 April 2009 22:23
- Ditulis oleh admin1
- Dilihat: 2667
- 08 Apr
Menyambangi Banten Lama, menyimpan banyak cerita sejarah. Salah satunya adalah bentuk sisa-sisa kebesaran Sultan Banten dalam penyebaran agama Islam di abad ke 15.Tim redaksi rumahku berkesempatan mengunjungi Banten Lama bersama rombongan Ikatan Arsitektur Indonesia (IAI) Serpong Banten. Tepat pukul 9.00 WIB pagi, rombongan IAI bersama beberapa wartawan siap-siap bergegas untuk berangkat menuju Banten lama. Meski hujan tak ramah, tak sedikitpun menyurutkan semangat kami untuk menyusuri kota bersejarah itu. Buktinya, wajah-wajah ceria peserta tetap menghiasi perjalanan sehari menuju kota yang menjadi simbol kerajaan Islam itu.
Tak terasa, dua bis yang kami tumpangi telah berhenti di sebuah lokasi. Lokasi itu ternyata sisa-sisa benteng peninggalan Belanda yang terdiri dari tumpukan batu bata merah dan bongkahan batu karang yang menghitam. Namun, tetap saja memiliki daya pikat tersendiri bagi orang untuk memandangnya. Praktis, lokasi itupun menjadi sasaran kami untuk sekadar mejeng sembari foto bersama.
Museum kepurbakalaan
Setelah lelah berfoto bersama, perjalananpun dilanjutkan. Kini kami telah tiba di sebuah lokasi yang juga menjadi pusat perhatian orang banyak. Lokasi itu dikenal sebagai museum kepurbakalaan Banten lama. “Disini kita bisa melihat dengan jelas sisa-sisa peninggalan Kesultanan Banten,” kata Arum salah satu anggota IAI.
Museum seluas 1.000 meter persegi tersebut menyimpan sejarah penting dalam kesultanan Banten. Seperti halnya dua gambar yang terpampang disana, yakni Kiayi Ngabehi Wirapraja dan Kiayi Abi Yahya Sandara, dua Duta Besar Kesultanan Banten untuk Inggris. Hal ini sebagai bukti betapa majunya pemikiran para sultan karena mengerti pentingnya diplomasi.
Belum lagi koleksi beberapa mata uang dan pecahan keramik dari sejumlah negara yang disimpan di museum tersebut. Itu juga bukti bahwa Kerajaan Banten memiliki bandar besar, tempat persinggahan dan transaksi perdagangan internasional.
Pada sisi lain, di lokasi yang sama ada salah satu bangunan yang masih berdiri kokoh yakni Masjid Agung Banten Lama, berikut menara setinggi 25 meter. Masjid inilah yang paling terkenal di Situs Banten Lama dan selalu penuh sesak oleh para peziarah, terutama pada peringatan hari-hari besar Islam. Lagi-lagi kamipun bergegas untuk menapaki minaret itu sambil menikmati pengalaman dan berfoto bersama.
Eco village
Setelah puas berfoto, pukul 12 siang rombonganpun kembali bergegas. Kali ini sosok pemuda mengendarai Honda Beat menuntun kami menuju suatu tempat. Kira-kira perjalanannya hampir 2 km dari lokasi museum. Hanya saja, si pemuda itu berhenti di suatu tempat yang ternyata adalah sisa kolam air terbesar yang dahulunya sebagai sumber penyuplai air ke berbagai kota di Serang.
Usai itu, si pemuda memberi petunjuk kepada rombongan untuk terus mengikutinya ke sesuatu tempat lain. Tak beberapa lama kami sudah tiba di sebuah dermaga yang disebut dengan pelabuhan Karangantu. Rombongan disarankan untuk turun dan kemudian melepas alas kaki menuju ke sebuah lokasi 150 meter dari tepi dermaga. Awalnya rombongan sedikit heran mengapa alas kaki dilepas, tapi ternyata setelah diberi penjelasan oleh pemuda yang bernama Mukodas tersebut akhirnya rombongan setuju.
Jalan setapak yang kami susuri ternyata lokasi utama yang menjadi rencana kunjungan. Beberapa teman IAI mengatakan lokasi seluas 5,5 hektar itu adalah milik sang pemuda. Pria ramah itu menyebut lokasi tersebut bertajuk eco village. “Kampung dengan konsep ramah lingkungan, “ katanya.
Asal tahu saja, disini kami disuguhi beberapa aneka makanan, mulai dari kerang rebus, air kelapa muda hingga ikan bandeng berselimut lumpur. Puas dengan suguhan khas eco village, Mukodas yang juga anggota IAI ini pun memberi presentasi tentang eco village. “Konsep eco village menggunakan pendekatan pada visi energi, ekonomi dan lingkungan. Dan ini merupakan bentuk tanggung jawab kami dalam rangka mengurangi dampak pemanasan global,” tutur laki-laki bernama lengkap Mukodas Syuhada itu.
Itulah akhir kegiatan kami sehari bersama rombongan IAI ke Banten Lama. Kenangan tersisa tentu betapa kuatnya sejarah sebagai bukti peninggalan yang tak pernah habis dimakan jaman.